Jum'at Terindah, Sebuah Diary Aksi

Ya Ikhwah,
Izinkan saya bercerita tentang jum'at terindah dalam hidup saya ini. My beautiful friday. Setidaknya sampai hari ini. yang belum tentu akan terulang untuk kedua kalinya. Karena memang 'org rumah' tidak mau ada yang kedua. Ehh... belum mau deh. Ehh... anu. Eeeehh... gimana ya?

Juma't, 2 Desember 2016...
Tepat dini hari, dari halte kampus UI Depok, mulai ku langkahkan kaki ini bersama saudara-saudara yang sebagian besar wajahnya belum pernah kujumpai sebelumnya, tapi terasa begitu akrab, hangat, dan bersahabat.

Dari atas mobil komando, sang Korlap menjelaskan bahwa aksi jalan malam kali ini akan menempuh jarak kurleb 25 Km, dengan 2 titik lokasi istirahat: masjid al-Munawar (Pancoran, Jakarta Selatan), dan Masjid Cut Mutia (Menteng, Jakarta Pusat) untuk sholat subuh lalu kemudian sarapan dan melanjutkan sedikit lagi perjalanan menuju titik akhir tujuan: kawasan Monas. Hhhmmm... OK lah. Siapa takut?

Belum terlalu jauh kaki melangkah, tiba-tiba datang seorang kawan yang berlari tergopoh-gopoh. Ooh... rupanya dia datang telat hingga harus mengejar rombongan long march dengan menumpang ojeg online.

Terkejut kami mendengar ceritanya bahwa setelah mengetahui ia mengejar rombongan untuk ikut Aksi Bela Islam 3, si abang Goj*k tersebut malah tidak mau menerima pembayaran. Gratis... tis...tis.
(Duh kalau tau githu, naik ojek aja deh). :p

Sepanjang perjalanan yang ditemani sesekali gerimis kecil, masyarakat menyambut di tiap mulut jalan yang kami lewati. Seolah "memaksa", mereka sodorkan berbagai perbekalan yang sudah mereka siapkan, seperti roti dan air mineral kepada kami. Padahal perbekalan yang sudah disiapkan tim logistik kami, sudah lebih dari cukup. Bahkan berlebih.

Karena tak enak terus menolak, "terpaksa" lah kami terima pemberian mereka, untuk kemudian kami letak di mobil logistik. Maaf ya... Tapi terima kasih loh atas perhatiannya.

Ternyata estimasi waktu meleset jauh. Target jam 4 yang seharusnya sudah di masjid Cut Mutia, ternyata baru sampai masjid Al-Munawar, yang awalnya hanya sebagai tempat transit sebentar.
                                     
Meski sudah berjalan hampir 4 jam, banyak diantara peserta aksi yang lebih memilih "mengembalikan" rasa lelah itu kepada Sang Pemiliknya, dengan sholat malam sambil menunggu waktu subuh, ketimbang meluruskan kaki dan bersandar pada tembok dan tiang-tiang masjid.
                                 
Ahhh... sungguh kawan yang baik adalah kawan yang hanya dengan kita memandangnya, kita bisa mengingat Rabb kita. Jadilah saya 'tertular' prilaku mereka. Ternyata berdiri dan bersimpuh di hadapan Ilahi saat betis 'cenat-cenut' itu ada kenikmatannya sendiri. Tak terasa... meleleh dari sudut mata.

Selesai menunaikan Subuh dan sarapan (pengurus masjid menjamu kami dengan nasi hangat, semur tahu, ikan tongkol balado, dan kerupuk yang disajikan dalam nampan besar utk 4-5 org), perjalanan kami lanjutkan kembali. Suasana Jakarta sudah mulai ramai dengan warganya yang akan mulai beraktivitas, termasuk yang akan ikut aksi 212 ini.

Cuaca Jakarta pagi itu bikin was-was. Mendung dan berangin. Dan benar saja, hujan kecil turun membasahi kami. Tapi alhamdulillah hanya sebentar. Nampaknya hujan hanya ingin sekedar menyegarkan kami yang memang belum sampat mandi pagi itu. Masih bau laki-laki banget. Ngendus... :p

Dengan jalan berkelompok, masing-masing rombongan saling menyapa, memberi salam, dan takbir bersahutan saat bertemu. Dan tentu saja saling berbagi perbekalan. Baik dengan sesama, maupun dari warga yang ternyata sudah menyiapkan sajian sarapan pagi untuk peserta aksi yang melintas.

"Pak...pak...tunggu, pak. Jangan jalan dulu. Ini nasinya lagi dibungkusin", teriak seorang ibu sambil berlari kecil menghampiri kami di depan kampus Muhammadiyah di daerah Manggarai.
"Iya bu... nanti titip saja ke rombongan di belakang. Masih banyak yang blm sarapan," jawab kami tak ingin mengecewakan si ibu.
                                      
Menjelang tiba, tepatnya di kawasan Tugu Tani, suasana sudah sangat ramai. Peserta aksi yang datang dari berbagai daerah di Indonesia, berjalan menuju titik yang sama. Akibatnya, kemacetan lalu lintas, bahkan bisa dikatakan crowded, tak bisa terhindarkan.

Kurang lebih jam 8 pagi, kami tiba di kawasan Monas. Berarti waktu 8 jam lah yang kami butuhkan untuk berjalan kaki dari depok. Padahal jika naik kereta hanya butuh waktu kurang lebih 30 menit. Tapi, ahh... semangat warga ciamis-lah yang telah membakar semangat dan menjadi energi buat kami. Allahu Akbar.
                                                     
Tak lama, HP cina milik saya berdering. Di layar tertulis "Istriku Sayang". (Beneran, begitu saya menulisnya). Dia bilang ada penyiar radio yang mau telewicara secara live tentang aksi 212 ini. (Maklum dah... "Istriku Sayang" ini memang tugas di lembaga negara yang ngurus soal penyiaran. Gak usah disebut nama lembaganya).

Benar saja, tak lama kemudian orang radio menghubungi saya. Dia perkenalkan nama radionya, yang ternyata mengudara dari bumi Borneo, Kalimantan. (Saya lupa nama radionya). Dia meminta saya untuk stand by karena akan langsung disambungkan dengan penyiarnya.
                                    
Dari ujung telpon, sang penyiar menyapa pendengar dengan sapaan khasnya, "baiklah sobat pendengar setia, di ujung telpon kita sudah tersambung dengan salah seorang peserta aksi 212 yang kini sudah berada di lokasi. Langsung saja kita tanya-tanya dengan pak Erwin".
(Hellow...gak usah sebut 'pak' kalee. Aa, kek githu. Ehhh).

"Bla... bla... bla..." wawancara selesai.

Tapi tak lama kemudian, bunyi lagi telpon dari sebuah radio. Kali ini dari Tulungagung, Jawa Timur. Maksudnya sama dengan yang tadi.

Di kedua telewicara live dengan 2 stasiun radio tersebut saya tegaskan bahwa aksi 212 ini adalah wujud kecintaan ummat Islam pada NKRI. Penjagaan pada Pancasila. Dan penghormatan pada Kebhinnekaan. Namun bukan berarti ketiga hal tersebut bisa dijadikan tameng untuk melindungi ahok yang sudah melakukan penistaan terhadap al-Qur'an.
(Aseek... keren gak? ENGGAK).

Sekarang sengaja menunggu telpon lagi. Siapa tau sekarang ditelpon untuk wawancara live oleh TV. Kan bisa dadah dadah tuh :p

Satu persatu para Ulama memberikan tausiah dan nasehatnya. Diselingi dengan tilawah qur'an, zikir dan doa. Suasana aksi benar-benar Super Damai di cuaca yang juga sejuk di pagi hari menjelang siang itu.

Hingga kemudian waktu Sholat Jum’at tiba. Saat Muadzin akan mengumandangkan adzan, tiba-tiba hujan mulai turun. Jamaah tak bergeming dari shaf yang telah mereka susun secara rapi. Gema takbir saling bersahutan di tengah guyuran hujan yang semakin deras.

MC acara mengingatkan jamaah untuk berdoa, karena inilah waktu yang mustajab. Hujan turun di hari jum’at yang mulia, ditengah jutaan ummat yang sebagian besarnya adalah musafir, dan akan segera mendirikan sholat bersama para Ulama dan Umara. Momen langka yang sulit terulang kembali.

Habib Rizieq Shihab tampil sebagai khotib. Di hadapan para pejabat, termasuk presiden Jokowi yang akhirnya memutuskan hadir di tengah-tengah rakyatnya yang datang dari berbagai daerah, beliau tegas menyampaikan khutbahnya agar ayat-ayat konstitusi harus diletakan di bawah ayat-ayat suci. Beliau juga menyampaikan agar tidak boleh siapapun di negeri ini yang melakukan penistaan terhadap agama, agama apapun. Jelas maksud ‘tembakan’ nya, kan?

Masih ditengah guyuran hujan, imam sholat jum’at khusyu memimpin jamaah menghadap Allah yang Maha Kuasa. Sang Imam juga mengingatkan jamaah dengan perjuangan Aksi Bela Islam ini dengan membaca surat al-Maidah ayat 50-53 dan 54-57 (jika saya tidak salah ingat) setelah membaca al-Fatihah pada rakaat pertama dan kedua.

Setelah bangkit dari rukuk pada rakaat kedua, beliau baca doa qunut yang sangat panjang. Panjang doanya lebih lama dari total waktu 2 rakaat sholat Jum’at tersebut.

Diantara doa yang beliau panjatkan adalah agar Allah memberi pertolongan pada para pembela al-Qur’an , pejuang-pejuang al-Qur’an. Juga agar Allah memberi pertolongan pada mujahidin-mujahidin di Palestina, Suriah, Iraq, Afganistan, dan bumi di mana kaum muslimin sedang tertindas. Kemudian ditutup dengan Doa Rabithah, sebuah 'doa persatuan' yang akrab saya baca sejak SMA dulu.

Tak terasa air mata kembali menetes bersamaan dengan air hujan yang terus menerpa wajah dengan lembutnya.

Ikhwah sekalian… adakah sholat jum’at di negeri ini yang lebih indah dari ini?

Selesai sholat jum’at dan Jamak-Qashar bagi musafir, jamaah berangsur-angsur meninggalkan kawasan monas dengan tertibnya, menuju jalan Thamrin dan Sudirman. Memenuhi semua ruas jalan, mulai dari bundaran Patung Kuda hingga bundaran HI.

Saya…? Menyusuri sepanjang jalan Sudirman menuju Stasiun kereta untuk kembali ke Depok, sambil menyiapkan diary ini.

-Erwin-
Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Posting Komentar