Berkah dari Langit

Adzan berkumandang. Hujan bertambah lebat. Peserta aksi berdiri. Tidak nampak dari wajah mereka terganggu dengan air berkah yang turun dari langit. Barangkali Delon di rumah dua kali terheran-heran. Pertama, sumpahnya terkabul. Dia jingkrak-jingkrak. Mendadak wajahnya berubah melihat di televisi umat Islam yang melaksanakan sholat jum’at di acara bela Al Qur’an 212 tidak terusik sama sekali seolah-olah tidak ada hujan.

Barangkali Delon mengucek-ngucek matanya berkali-kali. Wajahnya di dekatkan ke televisi untuk meyakinkan apakah hujan yang dia lihat atau hanya illusi. Saat dia yakin memang hujan beneran, dia masih tidak percaya. Bagaimana mungkin jutaan orang sholat dengan khusyu di bawah hujan lebat? Biasanya teman-temannya yang melaksanakan aksi, kena panas matahari sedikit saja, memilih berteduh di taman. Sholat sunah dua rakaat yang basah. Jika dilihat dari udara merupakan pemandangan yang menakjubkan. Tua, muda, laki, perempuan sepanjang jalan Monas sampai bundaran HI dan sekitarnya tidak ada satupun yang lari dari berkah hujan.

Terdengar suara khutbah jum’at oleh Habib Rizieq. Hujan mengguyur hamparan putih yang khusyu mendengarkan khutbah. Air mulai meresap membasahi seluruh tubuh. Kering sudah sejak tadi terusir. Tubuh-tubuh basah duduk di atas sajadah basah. Tidak ada yang menggigil. Sungguh pengalaman batin yang luar biasa. Barangkali tidak akan terulang sepanjang hidup.

Aku bersyukur pada Allah bisa berada di antara jutaan suadara seiman yang basah. Air yang membasahi tubuh para pemuda muslim dan pemudi muslimah akan terus meresap ke dalam jiwanya yang akan mewarnai perjalanan imannya kelak. Tidak ada alasan untuk meninggalkan sholat dalam kondisi apa pun. Mental takut pada matahari dan takut pada hujan sebagai alasan berlari meninggalkan ibadah wajib, telah terkikis oleh basah di sepanjang jalan pada hari ini. Terdengar suara qamat. Semua berdiri. Berkah dari langit terus mengguyur tubuh-tubuh yang berdiri tegak di atas sajadah basah.

Takbirotul ihram yang basah.
Al fatihah yang basah.
Kenikmatan beribadah yang barangkali tidak akan terulang lagi.
Sujud yang basah di atas sajadah basah. Mencium berkahMu.
Bersyukur pada berkah yang Kau turunkan. 

Terdengar doa qunut nazilah. Semua tangan menengadah. Inilah saat doa diijabah. Bukan hanya saat turun hujan, berdoa di tempat yang kering. Tapi langsung pada sumber penyebab ijabah. Qunut nazilah yang cukup panjang tidak menyebabkan jutaan pasang kaki gontai. Di depanku seorang tua berusia kurang lebih enam puluhan, kedua kakinya tetap berpijak seperti menempel di atas sajadah basah.

Air hujan menggenang di kedua telapak tangan. Seperti berkah yang dicurahkan dari atas langit, langsung diberikan di kedua telapak tangan. Terus mengalir jatuh di atas sajadah, menyatu dengan berkah yang terus mengalir sepanjang jalan. Menembus bumi. Tersimpan berkah di dalam bumi kami. Akan dihisap oleh akar pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan. Setiap daun baru muncul, akan bermanfaat bagi keindahan kota yang insya Allah diberkahi ini. Akan jadi saksi keteguhan iman. Mengabarkan pada generasi mendatang.

Sholat selesai.
Hujan sudah mulai reda, tapi belum habis benar. Beberapa relawan mengumpulkan sampah. Menaruhnya dalam kantong plastik besar. Sepanjang perjalanan pulang yel yel tuntutan utama aksi ini bersahut sahutan. Beberapa gadis menyanyikan lagu perjuangan Islam. Seorang kakek menggandeng istrinya yang usianya sebaya dengannya. Keduanya basah. Tidak nampak ada gigil pada tubuh rentanya. Lautan putih bergerak perlahan ke segala arah.

Kami beristirahat di mushola Depo ( bengkel ) kereta stasiun Tanah Abang. Masih ada makanan tersisa. Kami makan bersama di saung depan mushola bersama beberapa orang peserta aksi yang kami tidak kenal namanya, tapi kami tahu, semua bersaudara dalam ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah. Seseorang yang mungkin petugas Depo atau mungkin juga bukan membawakan dua cangkir kopi tanpa diminta, disusul empat gelas kopi susu. Dia ikhlas memberikannya. Ketika kami memberikan sejumlah uang dia menolaknya.

Barangkali memang banyak muslim yang seperti dia yang karena pekerjaanya tidak bisa ikut menyuarakan isi hatinya, tapi ingin membantu “perjuangan” saudaranya sesama muslim semampunya. 

Ada yang memang direncanakan, ada juga yang spontan seperti bapak pembuat kopi itu
Tapi ada juga saudara seiman lainnya bukan hanya tidak tergerak membantu, tapi malah menghina saudaranya. Padahal diam saja sudah cukup berguna, tapi mereka memang memilih jalannya sendiri. Tak apalah.

Terdengar pengumuman kereta yang akan kami tumpangi sudah tersedia. Kami bersiap pulang bertemu keluarga. Kami berjalan menuju kereta dengan memakai pakaian basah seperti juga saudara saudara seiman lainnya.

SELESAI

-Balya Nur-


Share on Google Plus

About Hurriyatul Jannah

0 komentar:

Posting Komentar