Banyak Jalan Menuju Monas

Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah Sebaik-baik pembalas tipu daya.
( QS Al An Faal, ayat 30 )

Nabi Muhammad SAW bersama Abu Bakar ra bersembunyi di gua tsur. Keduanya meninggalkan Mekah menuju Madinah karena rencana pembunuhun yang akan dilakukan oleh para pemuda Quraisy. Dan itu adalah upaya terakhir setelah segala intimidasi dan gangguan fisik terhadap Nabi tidak menyebabkan Nabi mundur berda’wah.

Terdengar suara derap kaki kuda di luar gua. Abu Bakar menggigil ketakutan. Nabi berbisik, “ La Tahzan, innallaha ma,ana, “ jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.

Sebagaimana kita ketahui, atas izin Allah sarang laba-laba menyelamatkan keduanya. Nabi yakin Allah akan menyelamatkannya, tapi beliau tidak tahu bagaimana caranya. Dan cara sarang laba-laba itu memang sungguh di luar dugaannya. Cara yang realistis. Bukan seperti cerita fiktif yang tiba-tiba sang tokoh bisa menghilang, atau terbang menempel di langit gua seperti kelelawar.

Berbeda dengan para Nabi sebelumnya. Nabi Musa misalnya, atas izin Allah bisa membelah laut dengan tongkatnya demi menyelamatkan kaumnya dari kejaran Fir’aun. Nabi Muhammad bergegas pergi meninggalkan Ali bin Abi Thalib ketika mendengar para pemuda Quraisy akan datang membunuhnya. Beliau tidak mengatakan pada Ali, “ La tahzan, innallaha ma’ana. “  Atau melakukan perlawanan fisik yang mustahil dilakukan melawan para pemuda Quraisy yang gagah.

Pada saat kritis, petolongan Allah juga terjadi dengan cara yang realistis. Bukan dengan menutup mata para pemuda Quraisy hingga tiba-tiba gua hilang dari pandangan mereka, tapi sarang laba-laba di pintu gua yang membuat para pemuda Quraisy berpikir hukum kausalitas, sebab akibat.  Mustahil ada orang bisa masuk  ke dalam gua tanpa merusak sarang laba-laba.

Pesan  “ jangan bersedih,”  adalah pesan yang membuat manusia berpikir mencari jalan keluar. Beda dengan pesan, “ jangan takut, “ yang terkesan pembawa pesan akan melindungi, dan yang diberi pesan jangan terlalu banyak berpikir.

La tahzan innallaha ma’ana
Larangan dan tekanan bagi para peserta aksi, mulai dari imbauan kepala daerah, sampai ancaman terhadap perusaan Bus agar tidak mengangkut para peserta aksi, tidak menyurutkan niat para peserta aksi untuk datang ke acara bela Islam 212. Mereka tidak meratapi larangan dan tekanan itu. Mereka juga tidak datang ke Komnas HAM yang sedang tidur nyenyak hingga tidak melihat ada hak menggunakan tarnsportasi umum telah dirampas.

“ Jangan bersedih “ jika masih punya kedua kaki. Para santri Ciamis menerjemahkan “innalllaha ma’ana “ dengan cara yang membuat banyak orang hampir tidak percaya, berjalan kaki dari Ciamis ke Jakarta!

Ini bukan cerita fiktif. Mereka sungguh melakukannya. Derap langkah kaki mereka yang penuh keyakinan, “Innallaha ma’ana “ membuat hati bergetar mendengar derap langkahnya. Membuat keluar air mata haru bagi yang melihatnya.

Di tengah keletihannya, mereka tidak marah saat sebagian kecil orang mencibirnya, menghinanya. Mereka terus berjalan. Derap langkahnya dibawa angin, menembus hati kaum mu’minin dan mu’minat di tempat yang akan mereka lalui.

Berbondong-bondong kaum “anshor,” dalam pengertian yang sesungguhnya memberikan perbekalan. Peristiwa heroik dan mengharukan itu bermakna ganda. Salah satunya, membalikkan fakta bahwa para peserta aksi datang demi uang.

Angin juga membawa derap langkah mereka, menerobos masuk ke gedung pengambil kebijakan. Menyapa hati penguasa. Menyadarkan mereka bahwa segala macam tekanan akan sia-sia. Terlalu banyak jalan pintas menuju Monas. Tidak mungkin sanggup menghalanginya. Kesepakatan 2811 pun terlaksana. Para ulama dan umaro dalam gedung ber ac berjabat tangan. Sementara para santri  berjalan di bawah matahari. Terus berjalan. La tahzan, Innallaha ma’ana

Angin terus membawa derap langkah mereka. Membangkitkan semangat sudara-saudaranya di tempat berbeda. Mereka yang berada di Bogor dan Jakarta berniat berjalan kaki juga. Perjalanan yang belum seberapa di banding saat Rasulullah dan kaum muslimin berhijrah ke Madinah.

Angin terus membawa derap langkah mereka. Masuk ke dalam hati sanubari suadara-saudaranya di tempat berbeda. Salah satunya Bapak muda datang ke rumah saya, seraya menitikan air mata  berkata, “ Semangat anak-anak santri itu membuat saya terharu dan malu. Saya ingin sekali datang, tapi tempat kerja saya tidak mungkin mengizinkan. “

Saya katakan, “ Bekerja juga ibadah. Niat tulusmu sudah didengar. Angin akan membawanya dengan kecepatan sedang. Besok akan sampai di tengah keramaian.  Saya akan menggelar sejadah buatmu. Bekerjalah.”

Air matanya menetes membasahi lantai. Walaupun nanti ada yang membersihkannya, pasti ada yang tersisa. Ketulusannya. La Tahzan, Innallaha ma’ana.

01122016

-Balya Nur-
Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Posting Komentar